23.03
0


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pendidikan karakter bertujuan untuk menumbuhkembangkan karakter yang baik, yang seharusnya ditanamkan sejak dini. Pendidikan merupakan proses membantu generasi muda untuk menjadi manusia yang utuh dan penuh. Utuh dan penuh berarti menyangkut semua aspek dalam hidup manusia seperti: intelektualitas (kognitif), sosialitas, moralitas, emosi, afeksi, estetika, religiusitas, kepribadian, dan juga fisik. Semua aspek itu dalam pendidikan perlu dikembangkan. Pendidikan karakter lebih membantu mengembangkan aspek kepribadian, sosialitas, moralitas, emosi, afeksi, estetika, religiusitas yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, dan berkarya.
           Sebenarnya pendidikan zaman dulu selalu menyertakan pendidikan karakter. Misalnya, guru dalam mengajar matematika juga menanamkan semangat daya juang, mengajar siswa menghargai orang lain, melatih siswa mengerjakan matematika dengan kejujuran dan lain-lain. Namun, akhir-akhir ini kentara bahwa sekolah formal terlalu menekankan segi kognitif saja, hanya mencari Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) dan ijazah, sehingga mengesampingkan pendididikan nilai. Salah satu tanda pendidikan nilai atau karakter kurang terwujud adalah adanya praktek tawuran, korupsi, nyontek, seks bebas, narkoba, dan kurangnya daya juang, yang akhir-akhir ini sangat menonjol. Oleh karena itu, dipandang penting menekankan kembali pendidikan karakter.Tentu diperlukan tinjauan menyeluruh dalam mengamati penerapan pendidikan karakter di perguruan tinggi, pendidikan dasar, menengah dan atas. Namun setidaknya ditemukan tiga pokok permasalahan mengenai kemerosotan moral dan pendidikan karakter di universitas, yakni masalah moral bangsa, penyimpangan sosial pada mahasiswa, dan ketidakefektifan pendidikan karakter di perguruan tinggi.
            Selain di tingkat perguruan tinggi dan mahasiswa, kemerosotan moral bangsa Indonesia juga terjadi siswa siswi di Indonesia. Memang pendidikan karakter dapat diajarkan lewat PPKn dan pelajaran agama, tetapi tidak hanya lewat dua pelajaran di atas. Bahkan bila hanya lewat PPKn dan Agama, guru-guru lain nantinya tidak ikut bertanggung jawab dalam mengembangkan pendidikan karakter. PPKn dan pendidikan agama oleh siswa malah sering dianggap pelajaran sampingan dan kurang dihargai. Maka pendidikan karakter seharusnya diajarkan dan dibantukan lewat semua pelajaran, mulai dari pelajaran Olah Raga, Seni, sampai dengan Fisika. Dengan demikian, semua guru ikut bertanggung jawab membantu siswa dalam mengembangkan karakter.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Moral Bangsa
Kemerosotan moral bangsa tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, namun telah menjamur hingga pelosok negeri. Indikator yang bisa dijadikan dasar acuan kemerosotan moral bangsa Indonesia dapat terlihat dari memudarnya nilai-nilai luhur yang dulu dijunjung tinggi. Salah satu contoh yang paling mudah adalah menurunnya rasa hormat terhadap orang tua. Terlepas dari pola-pola perilaku yang berkembang dari hubungan anak dan orang tua, secara keseluruhan orang tua yang mengeluhkan “kekurangajaran” anaknya banyak terdengar.
Hal ini berarti nilai-nilai menghormati orang tua berubah ke arah yang negatif. Hal diatas adalah sebagian contoh terkecil dari bangsa ini, yakni keluarga. Belum lagi jika dilihat secara makro, tentu akan lebih banyak lagi, diantaranya menurunnya rasa takut dan malu kepada Sang Pencipta. Akibatnya perbuatan sewenang-wenang terjadi, dari desa hingga ibukota, seperti pemerkosaan, perampokan, penipuan dan lain-lain.
Pengamalan Pancasila sebagai dasar negara dan filsafat bangsa tampaknya sudah tidak dihiraukan lagi. Masyarakat sudah terlalu jauh melangkah ke arah modernisasi sehingga melupakan nilai-nilai moral. Tidak salah jika kini Pancasila hanya diucapkan dalam kata namun dikhianati dalam perilaku.

B.     Penyimpangan Sosial
            Penyimpangan sosial di kalangan mahasiswa dan siswa pun patut dijadikan sorotan. Sudah tidak asing lagi perbuatan asusila yang dilakukan mahasiswa, seperti homoseksual yang kian marak, free sex yang tidak terkendali, juga peniruan karya orang lain (plagiat dan imitasi). Semoga saja ini bukan budaya para agent of change dan pelajar tetapi hanya oknum yang merupakan minoritas dari mahasiswa dan siswa itu sendiri.
            Penyimpangan ini tidak terlepas dari proses meniru yang berkiblat ke barat dan budaya yang memang dianggap keren. Miris memang saat mereka lebih mengelu-elukan nilai kebebasan dan melupakan nilai-nilai asli Indonesia yang seharusnya menjadi identitas diri.
          


C.     Pembentukan Karakter
            Pembentukan karakter setiap individu berbeda-beda. Ada yang sudah mulai pembentukan karakter sejak pranatal (sebelum dilahirkan), ketika dilahirkan, pada usia 4 tahun, bahkan ada pendapat pembentukan karakter seseorang dimulai ketika menemukan pasangan. Namun, sebagian besar menyebutkan bahwa pembentukan karakter dimulai sejak dini. Oleh karena itu keefektifan pendidikan karakter di perguruan tinggi dirasa kurang berdampak besar. Sebab sebagian besar karakter mahasiswa sudah terbentuk sejak lahir hingga menginjak usia dewasa.
            Solusi yang ditawarkan memang beragam. Kemerosotan nilai-nilai moral bisa diselesaikan dengan cepat dan efektif. Diantaranya dengan mengganti mind set bahwa pendidikan bukan hanya untuk mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga mentransfer nilai-nilai, dengan adanya transfer nilai ini diharapkan nilai-nilai yang mulai dilupakan akan dapat digali, ditemukan, dan diamalkan kembali oleh generasi muda yang ada.
            Upaya lain adalah dengan memberikan teladan bagi generasi masa kini. Karena apa, Generasi kita sekarang ini memiliki krisis untuk memilih siapa yang akan mereka contoh atau siapa yang akan memberikan tuntutan keteladanan, yang pada akhirnya mereka salah meniru. Mereka mengimitasi bahkan hingga mengidentifikasi artis-artis baik dalam maupun luar negeri yang keteladannya patut dipertanyakan. Hilangnya panutan jelas berpengaruh besar yang dapat kita rasakan kini.
            Pendidikan karakter juga jelas dapat dijadikan alternatif solusi namun penerjemahan dalam tindakan nyata kurang dapat terealisasi. Efektifitas pendidikan karakter di Perguruan Tinggi yang seolah-olah “memaksa” hanya akan sia-sia. Saat karakter mahasiswa saat usia mahasiswa.
Jangan sampai pendidikan karakter yang dielu-elukan oleh berbagai universitas ini hanyalah dijadikan salah satu mata kuliah syarat kelulusan saja, tetapi juga benar-benar bisa menjadi usaha pemecahan masalah kemerosotan moral di kalangan mahasiswa pada khususnya dan semua generasi muda pada umumnya. Karena dengan mengubah pemuda kita dapat menggebrak dunia. Selain itu pendidikan karakter dimampukan untuk mengubah nilai-nilai budaya luar yang berkembang di siswa pendidikan dasar dan menengah untuk menjadikan Pancasila sebagai penyaring moral bagi gejala amoral yang terjadi di Bangsa Indonesia.



D.    Pentingnya Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter di zaman ini semakin penting dan mendesak karena beberapa situasi yang dihadapi zaman ini. Misalnya, pengaruh globalisasi yang menawarkan, di samping sesuatu yang baik, juga nilai yang tidak baik seperti: konsumerisme, seks bebas, narkoba, pelampiasan nafsu manusiawi dengan melupakan hidup imani dan rohani. Kemerosotan karakter berbangsa kita; konflik antarsuku, agama, ras, kepentingan kelompok. Pasar bebas yang menyebabkan hanya orang yang bermutu dan kuat dapat menang sedangkan yang lemah dan tidak bermutu akan mati. Lapangan kerja yang makin sempit, persoalan hidup yang makin kompleks, dan membutuhkan semangat dan daya juga dalam hidup ini. Kepekaan sosial masyarakat yang makin berkurang dan perkembangkan individualisme yang makin tinggi di zaman ini .
Yang ideal pendidikan karakter diajarkan dan dibantukan secara sinergis lewat semua pelajaran, lingkungan sekolah, orang tua, media, dan masyarakat. Tanpa kerja sama semua pihak tersebut, maka pendidikan karakter akan sulit berhasil, bahkan bisa gagal.         Misalnya, kita mau menekankan nilai kejujuran agar korupsi dapat makin dikurangi. Maka suasana sekolah termasuk aturan sekolah juga harus menekankan kejujuran ini, bukan hanya guru lewat pelajaran. Kalau ada karyawan atau guru korupsi juga harus ditindak, bukan hanya siswa.
Orang tua menjadi pendidik karakter yang pertama dan utama bagi siswa. Maka nilai karakter mana yang mau ditekankan sekolah, perlu dikomunikasikan dengan orang tua sehingga ada kerja sama. Misalnya, sekolah menekankan nilai penghargaan kepada orang lain tanpa diskriminasi. Orang tua juga diajak untuk menanamkan nilai ini kepada anaknya. Maka kalau di rumah anaknya diskriminatif, perlu diingatkan. Kalau sekolah menanamkan nilai antinarkoba, maka orang tua juga harus mengerti itu dan membantu suasana di rumah untuk antinarkoba, bukan sebaliknya malah orang tua mengajari anak menjadi narkobais.
Masyarakat juga menjadi pendidik yang penting. Bila sekolah menekankan pendidikan karakter, tetapi masyarakat luas tidak mendukung, maka pendidikan menjadi berat atau bahkan akan gagal. Misalnya, sekolah menekankan nilai persaudaraan sebagai warga Indonesia, tetapi bila di masyarakat selalu dilihat antarsuku konflik dan saling membunuh, anak akan sulit mengembangkan persatuan. Terutama para pejabat tinggi, wakil rakyat, perlu membantu dalam penegakan nilai ini. Mereka harus menjadi contoh. Di sini banyak soal terjadi, siswa di sekolah dibantu baik, tetapi karena masyarakat masih jelek, anak lalu meniru masyarakat yang jelek.
Publikasi atau media sangat penting dalam pendidikan karakter. Acara TV yang isinya melemahkan pendidikan nilai, akan menghambat tertanamnya karakter yang ditekankan. Misalnya, sekolah selalu mengajarkan pentingnya usaha keras dalam hidup ini dan tanggung jawab. Kalau setiap hari anak melihat acara TV dimana tanpa usaha keras, orang berhasil dan yang usaha keras malah gagal hidup, anak akan tergoda untuk tidak mau berusaha. Di sekolah dididik antiseks bebas, tetapi di TV dan media, selalu memperlihatkan orang tua berseks bebas atau gambar porno, akan membuat siswa sulit.
Kalau memang mau ditangani secara baik, maka harus dimulai dari semua sudut. Ini berarti bahwa harus mulai dari sekolah formal, mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) sampai dengan Perguruan Tinggi (PT), sekolah agama yang ada di masyarakat, orang tua, lingkungan masyarakat, pemerintah, dan lewat media.
Sebagaimana pendidikan sendiri adalah proses seumur hidup, yaitu tidak akan berhenti sebelum orang mati, demikian juga pendidikan karakter. Orang harus terus mengembangkan karakternya terus-menerus sampai mati. Maka yang perlu mengalami pendidikkan karakter adalah mulai anak sampai dengan orang dewasa. Apalagi dalam nilai karakter tertentu, ternyata banyak contoh jelek dari orang dewasa. Lihat saja, banyak orang dewasa yang melakukan korupsi di negara ini, juga yang main seks bebas dan kecanduan narkoba. Bangsa ini tidak maju sebenarnya bukan pertama-tama karena anak-anak tidak baik, tetapi karena banyak orang tua dan orang dewasa, termasuk banyak pimpinan yang tidak berkarakter baik. Maka ini menjadi contoh tidak baik dalam pengembangan karakter orang muda.
Kalau memang pendidikan karakter menjadi berkembang, dapat dipastikan bahwa akan mempengaruhi peningkatan pendidikan akademik siswa. Misalnya, bila siswa memang selalu jujur dalam tingkah lakunya, dalam penelitian ia akan jujur dengan data penelitian, sehingga analisisnya lebih benar. Kalau anak sungguh disiplin maka akan mempengaruhi kerajinannya belajar sehingga tingkat akademiknya meningkat. Kalau orang punya daya juang yang kuat, maka dalam belajar dan menekuni bidang ilmu, ia tidak akan cepat mundur bila gagal, tetapi akan mencari jalan dan terus melakukan penelitian sehingga berhasil. Banyak sekolah yang menekankan disiplin, kerja keras, kejujuran, daya juang menjadikan kelulusan sekolah itu meningkat tinggi.
Dalam konteks sekolah, dapat dilihat pada praktek hidup anak-anak apakah nilai yang ditanamkan berkaitan pengembangan karakter terjadi. Misalnya, nilai kejujuran. Apakah semakin sedikit yang menyontek, semakin sedikit yang menipu, semakin sedikit yang dalam praktikum mengganti data dan lain-lain. Dalam konteks masyarakat, memang lebih sulit dievaluasi. Tetapi akan nampak bahwa suasana hidup bersama, kerja, dan sosial makin baik.
Kemajuan bangsa Indonesia tergantung banyak hal dan sangat kompleks. Banyak unsur mempengaruhi seperti karakter orang-orangnya, inteligensi dan keunggulan berpikir warganya, sinerginya para pimpinan dan warga dalam menghadapi persoalan bangsa, aturan hukum yang benar dan ditaati, kerelaan untuk saling membantu demi kepentingan warga keseluruhan, pengelolaan kekayaan negara, dan lain-lain. Pendidikan karakter merupakan salah satu segi yang membantu perkembangan, tetapi tidak dapat sendirian. Maka dalam pendidikan semua segi perlu diperhatikan. Namun, pendidikan karakter dapat menjadi pendukung yang mendalam bagi segi yang lain, karena menyangkut semangat, hati, dan sikap hidup seseorang.

E.     Karakter yang Penting
Dalam konteks karakter berbangsa Indonesia, menurut saya ada beberapa isi yang perlu mendapatkan tekanan, sehingga bangsa ini dapat semakin berkembang dan maju. Pertama, penghargaan kepada manusia, pribadi lain, Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga orang rela hidup bersama dan bekerja sama meski berlainan iman, ras, suku, serta tingkat ekonomi. Kedua, tanggung jawab terhadap kehidupan berbangsa. Ini penting bila negara ini masih mau dipertahankan sebagai kesatuan. Ketiga, nilai demokrasi yang menekankan semangat nondiskriminasi dan nonopresif. Keempat, kejujuran, sehingga mengurangi persoalan korupsi di berbagai segi kehidupan. Kelima, kekritisan dalam menerima informasi dan pengaruh globalisasi. Keenam, daya juang dalam hidup sehingga tidak mudah putus asa bila ada persoalan dan tantangan. Dan terakhir, moralitas yang tinggi, termasuk di dalamnya adalah antinarkoba, antiseks bebas, dan antikonsumerisme.

F.      Hambatan
Ada banyak hambatan yang terjadi yang perlu dihadapi bila kita ingin menanamkan pendidikan karakter. Hambatan utamanya adalah pendidikan karakter hanya berhenti pada teori, dan tidak sampai pada praktek dan  kebiasaan hidup. Misalnya, hanya mengajarkan kejujuran, tetapi tidak ada aturan atau pelaksanaannya di sekolah. Kemudian, tidak semua warga sekolah terlibat. Guru, kepala sekolah, yayasan, dan pegawai seluruh sekolah tidak terlibat dalam pendidikan karakter. Orang tua tidak diikutkan dan orang tua malah mengajarkan nilai lain. Lingkungan masyarakat dan pimpinan masyarakat yang hidup bertentangan dengan nilai karakter yang ditekankan. Misalnya, diajarkan kerukunan dan persaudaraan di sekolah, tetapi di masyarakat para pimpinan saling berperang dan membunuh.


DAFTAR PUSTAKA

0 komentar:

Posting Komentar