04.45
0
Ilmu politik telah mengalami perkembangan yang menarik sebagai sebuah disiplin ilmu. Perkembangan tersebut diwarnai oleh adanya perdebatan di antara para ilmuwan politik yang berbeda pandangan tentang apa yang seharusnya menjadi obyek utama dalam kajian ilmu politik dan bagaimana cara mempelajari obyek studi tersebut. Perdebatan itu semakin hebat semenjak dasawarsa limapuluhan, yaitu setelah sebagian ilmuwan politik menggunakan pendekatan tingkah laku (behavioral approach) untuk mempelajari kehidupan politik.

Perdebatan yang terjadi di dalam disiplin ilmu politik tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan dalam persepsi tentang persyaratan-persyaratan bagi sebuah disiplin ilmu. Ilmuwan politik behavioralis beranggapan bahwa ilmu politik haruslah menggunakan metode-metode keilmuan yang biasa digunakan dalam ilmu-ilmu alam/ eksakta (seperti pengumpulan data empiris, metode penelitian yang ketat, pembentukan teori universal). Sebaliknya ilmuwan politik yang lain (biasa disebut sebagai ilmuwan politik internasional) menganggap bahwa semua itu tidaklah perlu, karena obyek studi ilmu-ilmu alam berbeda dengan dari ilmu-ilmu sosial. Kenyataan itu membawa akibat bahwa metode yang telah terbukti bermanfaat bagi ilmu-ilmu alam belum tentu atau bahkan tidak ada manfaat bagi ilmu-ilmu sosial. Peniruan itu tidak akan membawa kemajuan bagi ilmu politik sebagai sebuah disiplin ilmiah, justru yang terjadi adalah pemborosan waktu.

Perdebatan belum mereda saat para ilmuwan politik dikejutkan oleh munculnya kritik yang keras terhadap pendekatan tingkah laku yang justru muncul dari salah seorang tokoh pendekatan, David Easton. Ilmu behavioralis terlalu asyik dengan model-model analisis (yakni metode-metode keilmuan) sehingga melupakan realita politik dan persoalan-persoalan sosial yang ada. Meskipun ada kritik tersebut, tidaklah berarti bahwa para ilmuwan politik behavioralis meninggalkan semua yang telah mereka hasilkan selama dua dasawarsa (1950-an dan 1960-an). Mereka masih menggunakan model analisis, framework of analysis, kerangka berpikir, atau apapun namanya yang telah mereka hasilkan. Yang berubah adalah munculnya kesadaran tentang perlunya keterkaitan yang jelas antara metode-metode keilmuan yang mereka hasilkan itu dengan peningkatan pemahaman terhadap masalah-masalah politik yang berkembang pesat dalam masyarakat.

Kritik terhadap pendekatan behavioralis ini memberi kesempatan bagi munculnya pendekatan alternatif dalam ilmu politik yang bisa disebut dengan nama umum sebagai pendekatan pasca tingkah laku. Pendekatan ini memberikan kritik yang tajam terhadap pendekatan tingkah laku. Kritik tersebut menyangkut hal-hal yang mendasar dari pendekatan tingkah laku, yakni landasan filsafat dan obyek studi. Pluralisme dan depedensi penguasa politik pada rakyat dipertanyakan oleh pendekatan baru tersebut karena adanya bukti-bukti empiris yang ditujukan oleh perkembangan masyarakat. Perkembangan tersebut menuntut adanya perubahan atau pergantian terhadap landasan filsafat baru.

Objek studi ilmu politik menurut pendekatan pasca tingkah laku harus digeser dari tingkah laku aktor-aktor politik ke lembaga politik terpenting di dalam masyarakat yang disebut negara. Fokus pada tingkah laku individu yang diperkenalkan oleh pendekatan pasca tingkah laku telah mengabaikan peranan warga karena adanya anggapan bahwa keinginan dan aspirasi warga masyarakat adalah faktor yang menentukan keinginan dan aspirasi penguasa politik (negara).

Pendekatan pasca tingkah laku dalam ilmu politik dapat dikelompokkan menjadi pendekatan kelembagaan, pendekatan perilaku, pendekatan kelompok, pendekatan ekonomi politik, pendekatan sistem dan pendekatan marxisme. Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan dalam penekanan, ketiganya mempunyai kesamaan yakni fokus pada negara dan peranan yang besar yang dimainkannya dalam politik.

Pendekatan Kelembagaan
Kajian pendekatan kelembagaan atau institusional memfokuskan pada lembaga pemerintah. Kegiatan politik berpusat pada lembaga pemerintah tertentu seperti kongres, kepresidenan, dsb. Kegiatan individu dan kelompok diarahkan kepada lembaga pemerintah dan kebijakan publik secara otoritatif ditentukan dan dilaksanakan oleh lembaga pemerintah.
Hubungan antara kebijakan publik dan lembaga pemerintah sangat erat. Suatu kebijakan tidak menjadi suatu kebijakan publik sebelum kebijakan itu ditetapkan dan dilaksanakan oleh lembaga pemerintah.

Lembaga pemerintah memberi tiga karakteristik yang berbeda terhadap kebijakan publik. Pertama, pemerintah memberi legitimasi kepada kebijakan-kebijakan. Kebijakan pemerintah dipandang sebagai kewajiban yang sah menunutut loyalitas warganegara. Kedua, kebijakan pemerintah membutuhkan universalitas. Hanya kebijakan pemerintah yang menjangkau dan dapat menghukum secara sah orang-orang yang melanggar kebijakan tersebut. Keunggulan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah adalah bahwa kebijakan tersebut dapat menuntut loyalitas dari semua warga negaranya dan mempunyai kemampuan membuat kebijakan yang mengatur seluruh masyarakat dan memonopoli penggunaan kekuatan secara sah yang mendorong individu-individu dan kelompok-kelompok.

Pendekatan institusionalisme atau kelembagaan mengacu pada negara sebagai fokus kajian utama. Setidaknya, ada dua jenis atau pemisahan institusi negara, yakni negara demokratis yang berada pada titik “pemerintahan yang baik” atau good governance dan negara otoriter yang berada pada titik “pemerintahan yang jelek” atau bad governance dan kemudian berkembang lagi dengan banyak varians yang memiliki sebutan nama yang berbeda-beda. Namun, pada dasarnya jika dikaji secara krusial, struktur pemerintahan dari jenis-jenis institusi negara tersebut tetap akan terbagi lagi menjadi dua yakni masalah antara “baik” dan “buruk” tadi.
Bahasan tradisional dalam pendekatan ini menyangkut antara lain sifat undang-undang dasar, masalah kedaulatan, kedudukan, dan kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga kenegaraan seperti parlemen dan lain-lain. Dengan kata lain, pendekatan ini mencakup unsur legal maupun institusional.
Setidaknya, ada lima karakteristik atau kajian utama pendekatan ini, yakni:
•             Legalisme (legalism), yang mengkaji aspek hukum, yaitu peranan pemerintah pusat dalam mengatur hukum;
•             Strukturalisme, yakni berfokus pada perangkat kelembagaan utama atau menekankan pentingnya keberadaan struktur dan struktur itu pun dapat menentukan perilaku seseorang;
•             Holistik (holism) yang menekankan pada kajian sistem yang menyeluruh atau holistik alih-alih dalam memeriksa lembaga yang “bersifat” individu seperti legislatif;
•             Sejarah atau historicism yang menekankan pada analisisnya dalam aspek sejarah seperti kehidupan sosial-ekonomi dan kebudayaan;
•             Analisis normatif atau normative analysis yang menekankan analisisnya dalam aspek yang normatif sehingga akan terfokus pada penciptaan good government.

Akan tetapi mengenai kekuasaan dalam praktiknya sangat sukar untuk dilaksanakan dan kurang dapat berkembang. Sekalipun demikian, pandangan untuk memusatkan perhatian pada kekuasaan membuka jalan bagi timbulnya pendekatan lain yang lebih bersifat fungsional, dan pendekatan ini cenderung untuk mendesak konsep kekuasaan dari kedudukan sebagai satu-satunya faktor penentu, sehingga menjadi hanya salah satu dari sekian banyak faktor dalam proses membuat dan melaksanakan keputusan.

Pendekatan Perilaku
Pendekatan perilaku terhadap analisis politik dan sosial berkonsentrasi pada satu pertanyaan tunggal yakni mengapa orang berkelakuan sebagaimana yang mereka lakukan ? yang membedakan pendekatan perilaku dengan dengan pendekatan lain adalah bahwa : (a) perilaku dapat diteliti (observable behaviour) dan (b) penjelasan apapun tentang perilaku tersebut mudah diuji secara empiris.

Behavioralis telah secara mendalam menganalisis alasan yang mendasari bentuk utama partisipasi politik massa di negara demokratis: pengambilan suara. Mereka juga meneliti asal-usul partisipasi dalam bentuk aktivitas politik lain yang lebih tak biasa, seperti demonstrasi, pemogokan dan bahkan kerusuhan. Pada tingkat elite, ahli behavioral telah menganalisis perilaku kepemimpinan, menempatkan perhatian khusus pada hubungan antara cara pemimpin memandang dunia dan tindakan tertentu yang mereka ambil. Dalam segi kumpulan sosial, analisis behavioral telah meneliti tindakan kelompok kepentingan dan partai politik. Pada tingkat internasional, analisisi behavioral juga telah difokuskan pada tindakan negara bangsa dan juga pada perilaku aktor non-negara seperti korporasi multinasional, kelompok teroris internasional dan organisasi supranasional seperti Uni Eropa.
Gerakan behavioral memperoleh posisi penting dalam ilmu sosial tahun 1950-an dan 1960-an. Asal usul filosofinya adalah dalam tulisan Auguste Compte (Compte 1974) di abad ke-19, dan berdasarkan positivisme logis ‘Vienna Circle’ tahun 1920-an.
Namun tidak tepat jika dikatakan bahwa behavioralisme menerima semua ajaran filosofis positivisme. Hanya pandangan behavioralisme mengenai sifat teori dan tentang penjelasan sangat dipengaruhi oleh tradisi positivis. Sebagian besar penganut behavioral mungkin menerima sesuatu dengan alur seperti berikut :
•             Teori empiris adalah satu himpunan pernyataan abstrak yang saling berhubungan, terdiri dari asumsi, definisi, dan hipotesis yang dapat diuji secara empiris. Tujuan pokoknya adalah mendeskripsikan dan menjelaskan kejadian fenomena atau sehimpunan fenomena tertenti.
•             Penjelasan adalah ungkapan sebab-akibat tentang kejadian suatu fenomena atau sekumpulan fenomena atau sehimpunan fenomena atau sehimpunan fenomena. Penjelasan tentang suatu (kelas) peristiwa tertentu terdiri atas spesifikasi minimal himpunan anteseden non tautologis bagi syarat perlu dan cukup yang diperlukan untuk terjadinya (peristiwa).

Penekanan terhadap observasi dan pengujian empiris menghasilkan dua ciri karakteristik pendekatan behavioral terhadap penelitian sosial. Yang pertama adalah komitme behavioralisme terhadap penggunaan sistematis dari semua bukti empiris yang relevan, bukan sekedar himpunan terbatas contoh ilustratiif yang mendukung. Komitmen ini semata berarti bahwa, ketika suatu pernyataan teoritis tertentu sedang diinvestigasi, peneliti tidak boleh membatasi dirinya untuk hanya mempertimbangkan kasus-kasus yang diamatinya yang memberikan dukungan ‘anekdotal’ terhadap klaim teoritis yang sedang dibuat.
Ciri kedua analisis behavioral agak lebih halus implikasinya tapi tidak kurang penting. Hal ini semata bahwa teori dan penjelasan ilmiah, pada prinsipnya harus mampu difalsifikasi.
Pendekatan perilaku memiliki beberapa kelebihan seperti berikut :
1.            Riset behavioral memberikan kontribusi teoritis dan empiris yang sangat besar terhadap pemahaman dan penjelasan perilaku sosial.
2.            Kekuatan analisis behavioral yang meliputi suatu kombinasi yang teliti antara teorisasi yang ketat dan pengujian empiris yang sistematis menawarkan metodologi yang maju tentang cara aktivisme politik dapat dipelajari, dan suatu ulasan substantif tentang perubahan pola aktivisme.
3.            Menganalisis secara mendalam alasan yang mendasari bentuk utama partisipasi politik massa di negara demokratis.

Walapun pendekatan ini memiliki banyak kelebihan, namun ia juga memiliki beberapa kelemahan. Berikut adalah kelemahan dalam pendekatan behavioral atau perilaku :
1.            Pendekatan perilaku telah membawa efek yang kurang menguntungkan, yakni mendorong para ahli menekuni masalah-masalah yang kurang penting seperti pemilihan umum (voting studies) dan riset berdasarkan survey (1960-an).
2.            Penganut pendekatan perilaku kurang memberi perhatian pada perubahan (change) dalam masyarakat.
3.            Pendekatan perilaku terlalu steril, karena menolak untuk memasukkan nilai-nilai dan norma dalam penelitian.
4.            Pendekatan perilaku juga tidak memiliki relevansi dengan realitas politik dan buta terhadap masalah-masalah sosial.

Pendekatan Kelompok
Pendekatan kelompok dalam studi politik diperkenalkan oleh Arthur Bentley dalam The Process of Government yang terbit pertama kali tahun 1908 dan dikembangkan antara lain oleh David Truman dalam The Government Process. Analisis kelompok ini merupakan reaksi terhadap dua kecenderungan dalam studi politik waktu itu. Yaitu pendekatan institusional dan legalistik tradisional dalam studi politik dan kecendrungan analisis politik yang menekankan segi normatif. Teoritisi kelompok ini mengusulkan pemusatan perhatian pada prilaku politik dan unsur-unsur empirik dalam kehidupan politik. Menurut Benley, bahan dasar bagi studi politik tidak bisa ditemukan dalam kitab undang-undang, konvensi konstitusional, essei, dsb. Tetapi harus ditemukan dalam kenyataan empirik. Pendapat ini selama hampir setengah abad diabaikan orang. Sampai kemudian Truman memanfaatkan dan mengembangkannya dan diikuti oleh teoritisi behavioralis seperti Samuel Eldersveld, Gabriel Almond, Mancur Olson, Joseph LaPalombara, Myron Weiner, dan banyak lagi.
Menurut pendekatan ini, kebijakan publik merupakan hasil perjuangan kelompok. Individu-individu yang memiliki pandangan sama akan bergabung dalam satu kelompok formal atau informal guna menekankan permintaan mereka atas pemerintah.
Individu akan menjadi penting dalam kehidupan politik hanya apabila tindakan mereka sebagai bagian atas nama atau kepentingan. Kelompok menjadi jembatan penting antara individu dengan pihak pemerintah. Sistem politik berfungsi mengelola konflik antara kelompok lain dengan menekankan pada kompromi dan lain-lain.
Pendekatan kelompok melihat kebijakan publik sebagai suatu ekuilibrium tercapai melalui perjuangan kelompok. Keseimbangan ini tercapai melalui pengaruh interest group. Pengaruh kelompok terhadap kebijakan publik dipengaruhi besarnya jumlah, kesejahteraan, kekuatan organisasi, kepemimimpinan, akses terhadap, pengambil keputusan, serta kohesi internal.
Perubahan-perubahan pengaruh daripada interest group dapat menyebabkan perubahan-perubahan pada kebijakan publik. Ia akan bergerak ke arah mereka yang memperoleh pengaruh. Letak titik keseimbangan akan dipengaruhi oleh kekuatan kelompok-kelompok atas fraksi yang berjuang mendapatkan tujuannya.
Para pembuat keputusan dipandang secara konstan akan memperhatikan kelompok penekan dengan cara melakukan bargaining, negosiasi, kompromi di antara permintaan kelompok-kelompok yang berpengaruh. Pendekatan kelompok ini perlu memperhatikan ide dari kelompok yang berpengaruh.

Pendekatan Ekonomi Politik
Martin Staniland (1985) mengatakan ekonomi dan politik menjelaskan interaksi sistematis antara aspek ekonomi dan aspek politik. Hubungan interaksi itu bisa dinyatakan dalam banyak cara baik itu dalam hubungan kualitas antara satu proses determinis atau hubungan yang bersifat timbal-balik atau suatu proses prilaku yang berlangsung terus menerus.

Adam Smith dalam bukunya yang berjudul Welth of Nation mengatakan ekonomi politik merupakan cabang ilmu yang memiliki dua tujuan berbeda yaitu :
-              Menciptakan sumber pendapatan bagi masyarakat atau swasembada bagi masyarakat, atau membantu masyarakat mencari pendapatan bagi mereka.
-              Menyediakan sejumlah daya bagi masyarakat negara atau pemerintah agar mereka mampu menjalankan fungsi dengan baik.

New Pelgrave Dictionary of Economic (1987) mengatakan ekonomi politik adalah perpaduan dua seni, yakni pengelolaan perekonomian pada umunya dan seni pengaturan pemerintahan.

Istilah ekonomi politik pertama kali digunakan penulis berkebangsaan Perancis, Montchreiten dalam bukunya “Trate de Economic Politique” (1966), James Stuart Mill dalam bukunya “Inquiry Into The Priciples of Political Economics”, Fredery Skarbek (1959) menggunakan istilah yang sama. Dari kenyataan itu, sesungguhnya istilah ekonomi politik merupakan suatu istilah yang sangat populer pada abad XVIII. Akan tetapi setelah Afred Marshall (1890) mengeluarkan buku “Priciples of Economic”, maka istilah ekonomi politik mulai dipisahkan. Ekonomi lebih menitik beratkan pada uraian-uraian ekonomi yang lebih sistematik kualitatif dan politik semakin menjauhkan diri dari uraian tentang ekonomi.

Dalam perkembangan berikutnya, terutama setelah diterbitkannya buku “Politics, Economics dan Welfare” (1953) karya Robert Dahl dan Charles Lindblom usaha untuk memahami keterkaitan antara politik dan ekonomi yang saling berinteraksi semakin menonjol.

Ada beberapa pemikiran yang dapat disimpulkan dari buku itu :
-              Ada perbedaan antara ekonomi konvensional dengan ekonomi politik terutama berkaitan dengan ekonomi politik terutama berkaitan dengan interaksi antara ekonomi politik di zaman modern saat itu.
-              Ada perbedaan antara ekonomi politik klasik dengan dinamika hubungan antara pasar dengan kebijakan pemerintah serta masyarakat yang terkena dampak dari hubungan itu.
-              Ekonomi politik dalam menganalisis berbagai masalah selain menggunakan pendekatan kualitas juga memakai teori –teori atau analisis ilmu sosial lain.
-              Ekonomi politik digunakan pula untuk membahas masalah sosial lain sepanjang adanya kaitan perekonomian.
-              Ekonomi politik modern banyak membahas ketidakadilan berkenaan dengan pemerataan pendapatan, kemiskinan pertumbuhan dan struktur lainnya baik dalam sistem ekonomi nasional maupun ekonomi internasional.

Beberapa keuntungan dalam sistem ekonomi-politik :
1.            Tidak terikat pada lembaga atau praturan politik khusus.
2.            Keuntungan untuk analisis komparasi pembentukan kebijakan.
3.            Menciptakan kestabilan ekonomi politik sehingga dapat menghasilkan kesejahteraan rakyat yang lebih baik.

Namun kelebihan ini mempunyai kelemahan. Penekanan pada kategori fungsional akan menyebabkan pengabaian terhadap politik pembentukan kebijakan dan pengaruh variabel lingkungan dalam proses pembuatan kebijakan publik. Artinya pembentukan kebijakan lebih dari sekedar proses intelektual. Selain itu apabila mengarah ke suatu kondisi krisis ekonomi, pendekatan sistem yang transparan akan menyebabkan dampak negatif yang luar biasa terhadap perekonomian suatu negara.
Pendekatan Sistem
Pedekatan ini menggunakan model sistem politik yang dikemukakan oleh David Easton. Dalam hal ini kebijakan publik dipandang sebagai tanggapan dari sistem politik atas permintaan ataupun dorongan lingkungan. Sistem politik yang dimaksudkan di sini adalah jaringan institusi dan kegiatan dalam masyarakat yang dapat menciptakan suatu keputusan atau alokasi-alokasi otoritatif. Kekuatan-kekuatan yang timbul dalam lingkungan dapat mempengaruhi sistem politik disebut sebagai input yang terdiri dari demand dan support dengan fungsi pada sistem untuk mentransformasi input tersebut menjadi output.

Pendekatan ini mudah sekali diterapkan dalam analisa politik luarnegeri. Konsep ini bisa menggambarkan bagaimana proses pembuatan keputusan berlangsung dengan cara memandang orang yang secara bersama-sama terlibat dalam proses politik luar negeri sebagai membentuk suatu sistem. Yang dianggap paling tepat untuk menggambarkan politik luar negeri adalah analisis “input-output”. Konsep-konsep yang diterapkan antara lain sebagai berikut : Input adalah pemasukan informasi atau sumber daya ke dalam sistem. Memory terdiri dari fasilitas dan proses menyimpan dan memanggil kembali informasi. Keputusan adalah komitmen, berdasar analisis tentang informasi yang ada dan kemampuan yang dipunyai, untuk melakukan tindakan terhadap lingkungan. Output adalah tindakan suatu sistem. Tujuan adalah apa saja yang dimaksud akan dikejar melalui tindakan itu. Terakhir feedback adalah informasi baru tentang akibat dari tindakan yang telah dilakukan, yaitu yang menjadi dasar bagi sistem itu untuk memulai siklus itu kembali.
Analisis bisa memakainya untuk membedakan suatu sistem dari lingkungannya dan dalam hal negara-bangsa batas itu jelas. Dalam proses politik luar negeri, input itu bisa diukur, misalnya angka anggaran belanja, statistik angkatan bersenjata, suara dalam pemilihan umum dan data-data lain. Input ini bisa juga berwujud berita tentang apa yang terjadi di dunia melalui ratusan telegram, telex, faximile yang masuk ke departemen luar negeri setiap harinya dari berbagai perwakilan atau pejabat intelejennya di seluruh dunia atau melalui pembicaraan langsung presiden dengan para duta besarnya di luar negeri. Dalam pengertian ini, sebenarnya kedutaan besar berfungsi sebagai kuping bagi pemerintahnya. Konsep-konsep lain dalam pendekatan sistem juga bisa diterapkan disini, misalnya, suatu bangsa juga mempunyai “memory” dalam bentuk buku sejarah, arsip, kebudayaan, tradisi, ingatan pribadi pemimpinnya. Output dari politik luar negeri juga bermacam-macam, mulai dari diplomatik hingga perang.
Yang menarik adalah kenyataan bahwa ketika berpikir dalam kerangka konsep ini dengan mudah melihat titik lemah dalam pembuatan keputusan politik luar negeri. Analisis input-output sering juga menerapkan teori komunikasi dan sibernetika, yang menekankan bahwa pemerintah dalam berhubungan internasional merupakan jaringan komunikasi, karena itu analisis mengumpulkan informasi tentang dan meneliti secara seksama arus komunikasi yang berkaitan dengan suatu sistem.
Penerapan pendekatan sistem dalam hal pembuatan keputusan dalam suatu sistem merupakan tahap yang sangat penting. Seorang pembuat keputusan menilai situasi yang dihadapi dan menggabungkan penilaian itu dengan gambaran tentang kemampuan yang dipunyai. Berdasarkan itu kemudian ia memilih diantara altenatif –alternatif tindakan yang mungkin utnuk dilakukan. Memilih salah satu dari pilihan-pilihan itu adalah tindakan pengambilan keputusan. Sejak berabad-abad analisis politik tertarik dengan masalah pembuatan keputusan. Yang baru adalah upaya melakukannya secara sistematik, yaitu menemukan unsur-unsur konstan dalam pembuatan sebagai suatu proses.
Keuntungan yang diperoleh apabila pendekatan sistem ini dilaksanakan antara lain :
1. Jenis dan jumlah input dapat diatur dan disesuaikan dengan kebutuhan sehingga penghamburan sumber, tata cara dan kesanggupan yang sifatnya terbatas akan dapat dihindari.
2. Proses yang dilaksanakan dapat diarahkan untuk mencapai output sehingga dapat dihindari pelaksanaan kegiatan yang tidak diperlukan.
3. Output yang dihasilkan dapat lebih optimal serta dapat diukur secara lebih cepat dan objektif.
4. Umpan balik dapat diperoleh pada setiap tahap pelaksanaan program.

Sekalipun banyak kelebihan dari pendekatan sistem ini, bukan berarti pendekatan ini tidak memiliki kelemahan. Salah satu kelemahan yang paling penting adalah dapat terjebak dalam perhitungan rinci, sehingga meyulitkan pengambilan keputusan dan dengan demikian masalah yang dihadapi tidak dapat diselesaikan.

Pendekatan Marxis
Pendekatan marxis diwarnai oleh pemikiran-pemikiran Karl Marx yang sudah amat terkenal itu. Kebangkitan pemikiran Marx di kalangan ilmuwan sosial Amerika Serikat pada dasawarsa 1960-an dianggap oleh Easton sebagai kebangkitan yang ketiga kalinya. Yang pertama terjadi pada masa Karl Marx masih hidup, kedua pada dasawarsa 1930-an dan 1940-an, dan ketiga pada masa dasawarsa 1960-an. Kebangkitan itu ditandai dengan banyaknya pola pikir Marx untuk menganalisis masyarakat. Sejalan dengan popularitas pola pikir marxis tersebut, di kalangan ilmuwan politik Amerika sering terjadi peningkatan peranan ilmuwan yang beraliran Marxis.
Kelompok marxis memberikan kritik yang tajam terhadap penggunaan metode ilmu-ilmu alam dalam ilmu politik. Obyektivitas ilmu politik dan value neutrality tidak bisa mereka terima. Bagi mereka semua istilah tersebut digunakan oleh kaum behavioralis untuk menutupi perkembangan ilmu politik yang semakin bersifat ideologis dan non-obyektif. Pemikiran-pemikiran kaum marxis tentang negara dan peranannya lebih banyak dibahas oleh ilmuwan sosial yang beraliran marxis. Para ilmuwan politik beraliran marxis lebih banyak terlibat politicking dalam organisasi mereka sehingga tidak sempat merumuskan paradigma alternatif bagi ilmu politik.
Marxisme Klasik
Inti dari marxisme didasarkan pada satu ontologis fondasionalis dan epistemologis realis. Bagi Marx, ada proses dan struktur esensial yang membentuk atau meyebabkan keberadaan sosial kontemporer. Oleh karenanya, adalah tugas para ilmuwan sosial untuk membongkar proses dan struktur esensial ini. Namun, proses dan struktur itu mungkin tidak bisa diamati secara langsung. Oleh karena itu, hubungan sebab akibat yang sejati seringkali berada di bawah tampilan permukaan.
Ada empat ‘isme’ terkait yang biasanya dihubungkan dengan Marxisme Klasik: ekonomisme, determinisme, matrealisme dan struturalisme. Marxisme adalah bersifat ekonomi dalam segi ia mengistimewakan relasi ekonomi, dan determinis dalam segi ia menyatakan bahwa relasi ekonomi menentukan relasi sosial dan politik. Ia melihat ekonomi sebagai hal yang tak dapat dielakkan, sehingga institusi politik, hukum, sistem kepercayaan dan bahkan bentuk-bentuk keluarga menyesuaikan diri dengan tuntutan dasar sistem ekonomi. Jadi, ekonomi menentukan atau mnyebabkan bagaimana sistem sosial lainnya berfungsi dan berkembang.
Marxisme Kontemporer
Marxisme adalah suatu tradisi teoritis yang masih hidup. Marxisme juga adalah suatu tradisi yang kaya dan telah mengalami perubahan substansial seperti ketika berjuang melawan menolak ekonomisme, determinisme, matrealisme dan strukturalisme. Terlepas dari keanekaragaman yang ada dalam marxis modern, kebanyakan kaum marxis modern memakai pendapat epistemologi realis kritis yang berbeda dari yang ditemukan dalam Maxisme Klasik, dan jelas dipengaruhi oleh kritik kaum interpretis.
Pada saat bersamaan, ketika Marxisme modern dicirikan dengan keanekaragaman, sebagian besar diantaranya : menolak ekonomisme, menolak determinasi, menekankan kontingensi, menolak materialisme, mengakui peranan independen bagi gagasan, menolak strukturalisme, menerima peran kunci bagi agen, tidak lagi mengistimewakan kelas, mengakui peran penting dasar-dasar lain ketimpangan terstruktur, dan pada taraf tertentu, mengistimewakan politik. Semua perkembangan ini bisa diilustrasikan dengan pembahasan singkat tentang perubahan dalam teori negara Marxis.
Beberapa orang berpendapat bahwa, keanekaragaman dalam pendekatan Marxisme adalah suatu kelemahan. Namun sebenarnya, ini cenderung sebagai suatu kekuatan. Marxisme telah mengembangkan fleksibilitas yang besar dalam menjawab pengkritiknya maupun perubahan yang telah terjadi dalam dunia nyata.
Selain dikritik karena tradisi dan keanekaragamannya, Marxis juga memiliki beberapa kelemahan lain. Beberapa kelemahan tersebut adalah :
-              Rumusan ekonomistik dalam pendekatan Marx telah terbukti tidak mampu menjelaskan perkembangan ekonomi, sosial dan politik.
-              Adanya ketimpangan terstruktur
-              Mengandung kontradiksi yang signifikan


Meskipun mendapatkan banyak kritikan, pendekatan Marxisme juga memiliki keuntungan. Pendekatan Marxisme berbeda dengan pendekatan lain yang lebih mainstream seperti pluralisme, yang berfokus pada hambatan struktural, jadi menawarkan wawasan yang lebih menarik ke dalam penjelasan operasi kapitalisme kontemporer.

0 komentar:

Posting Komentar