19.01
0
ANALISIS TERHADAP TAP MPR NO.III.MPR/2000 dan Implikasinya terhadap Perda
 
Dalam rangka pembaruan sistem peraturan perundang-undangan kita di era reformasi dewasa ini, Sidang Tahun MPR Tahun 2000 telah menetapkan Ketetapan No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam Pasal 2 ditentukan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah:
  1. Undang-Undang Dasar 1945.
  2. Ketetapan MPR-RI.
  3. Undang-Undang.
  4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
  5. Peraturan Pemerintah.
  6. Keputusan Presiden.
  7. Peraturan Daerah.
Perumusan mengenai bentuk dan tata urutan ketujuh peraturan perundang-undangan di atas dapat dikatakan kurang sempurna dan mengandung beberapa kelemahan. Pertama, karena naskah Perubahan UUD sekarang dibuat terpisah, maka seharusnya penyebutan UUD 1945 tersebut di atas dilengkapi dengan ‘… dan Perubahan UUD’. Kedua, penyebutan Perpu pada nomer urut keempat di bawah undang-undang dapat menimbulkan penafsiran seakan-akan kedudukan perpu itu berada di bawah UU. Padahal, kedudukan hukum keduanya adalah sederajat. Karena itu, seharusnya, seperti dalam TAP No.XX/MPRS/1966, keduanya ditempat pada nomor tiga, yaitu ‘Undang-Undang dan Perpu’. Ketiga, penggunaan nomenklatur Keputusan Presiden yang selama ini dipakai mengandung kelemahan karena tidak membedakan secara tegas antara keputusan yang mengatur (regeling) dengan keputusan yang bersifat administratif belaka (beschikking). Seharusnya, momentum reformasi ini digunakan sebaik-baiknya untuk menata kembali peristilahan yang baik dan benar, yaitu untuk keputusan yang mengandung aturan dan pengaturan, dokumen hukumnya sebaiknya dinamakan Per-ATUR-an, bukan keputusan. Keempat, hanya karena pertimbangan bahwa MPR cukup mengatur mengenai tata urutan peraturan sampai tingkat peraturan yang ditetapkan oleh Presiden, maka bentuk Peraturan Menteri tidak disebut dalam tata urutan tersebut. Padahal, di bawahnya masih disebut Peraturan Daerah yang tingkatan-nya juga di bawah peraturan yang ditetapkan oleh Presiden. Padahal, Peraturan Menteri itu sangat penting untuk ditempatkan dalam tata urutan di atas Perda, di samping produk peraturan tingkat menteri itu dalam praktek banyak sekali ditetapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari dan memerlukan penertiban sebagaimana mestinya.
Selanjutnya, dalam Pasal 3 ayat (7) diatur mengenai pengertian Peraturan Daerah yang di dalamnya tercakup pengertian Peraturan Daerah Propinsi, Peraturan Daerah Kabupaten, dan Peraturan Desa. Hal ini dapat mengundang penafsiran bahwa ketiganya memiliki kedudukan yang sama, yaitu sama-sama Peraturan Daerah yang dalam tata urutan tersebut ditentukan berada dalam tata urutan ketujuh. Dalam Pasal 4 ayat (1) ditegaskan bahwa sesuai dengan tata urutan tersebut, maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi, sesuai prinsip ‘lex superiore derogat lex infiriore’. Yang menjadi masalah adalah apa yang dirumuskan dalam ayat (2)-nya yaitu: “Peraturan atau Keputusan Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, Menteri, Bank Indonesia, badan, lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Pemerintah, tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang temuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan ini”. Ketentuan ayat (2) ini menentukan peraturan dan keputusan yang tidak boleh bertentangan itu adalah:
  1. Peraturan atau Keputusan Mahkamah Agung.
  2. Peraturan atau Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan.
  3. Peraturan atau Keputusan Menteri.
  4. Peraturan atau Keputusan (Gubernur?) Bank Indonesia.
  5. Peraturan atau Keputusan Badan, Lembaga ataupun Komisi yang setingkat dengan (Menteri?).
Beberapa persoalan yang timbul dengan adanya ketentuan demikian adalah: Pertama, apakah peraturan atau keputusan yang ditetapkan oleh lembaga tinggi negara seperti BPK dan MA dianggap sederajat dengan Menteri, Bank Indonesia, dan bahkan dengan Badan, Lembaga dan Komisi? Kedua, apakah Peraturan Mahkamah Agung dan Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Pemerintah, tidak boleh bertentangan dengan Keputusan Presiden, dan bahkan tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Daerah Propinsi, Peraturan Daerah Kabupaten, dan bahkan Peraturan Desa? Ketiga, lebih gawat lagi, apakah Keputusan Mahkamah Agung dalam menyelesaikan sesuatu perkara kasasi tidak boleh bertentangan semua ketentuan peraturan yang tingkatannya di bawah Undang-Undang? Padahal, sesuai dengan asas kebebasan hakim, demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, putusan hakim itu dapat saja bertentangan dengan Undang-Undang. Keempat, apakah kedudukan Perda lebih tinggi daripada Peraturan atau Keputusan Menteri, sehingga pembuatan dan penetapan Perda di daerah-daerah tidak perlu mengacu kepada pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
Tidak semua pertanyaan tersebut dapat dijawab tanpa memperbaiki lebih dulu perumusan TAP MPR No.III/MPR/2000 itu sendiri, meskipun sebagian dari kelemahan tersebut di atas, dapat diperbaiki dengan cara segera menetapkan UU yang diperintahkan untuk ditetapkan dalam Pasal 6 Ketetapan MPR tersebut. Dalam Pasal 6 tersebut dikatakan: “Tata cara pembuatan UU, PP, Perda dan pengujian peraturan perundang-undangan oleh MA serta pengaturan ruang lingkup keputusan Presiden diatur lebih lanjut dengan UU”. Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah bahwa dalam rangka melaksanakan agenda otonomi daerah yang tidak mungkin ditunda-tunda lagi pelaksanaannya, daerah-daerah sudah sangat mendesak perlunya menetapkan berbagai Peraturan Daerah, baik di propinsi maupun kabupaten dan kota. Kesulitan-kesulitan teknis hukum tersebut dapat ditambah pula dengan pertanyaan kelima, yaitu apakah Peraturan Daerah Propinsi sederjat atau lebih tinggi daripada Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Pertanyaan ini timbul karena menurut ketentuan UU No.22/1999, hubungan antara daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota berdasarkan UU tersebut tidak lagi bersifat hirarkis, melainkan koordinatif dan horizontal. Dalam Pasal 2 Ketetapan No.III/MPR/2000 tersebut, kedudukan Peraturan Daerah disebut pada nomor urut ketujuh, dengan pengertian sebagaimana diuraikan dalam Pasal 3 ayat (7) mencakup pengertian Perda Propinsi, Perda Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa.
Karena itu, sebagai jalan keluarnya – terutama untuk membantu pelaksanaan tugas pemerintahan dan tugas parlemen di daerah-daerah – dapat diusulkan hal-hal berikut. Pertama, Pemerintah Daerah dan DPRD di daerah-daerah sungguh-sungguh memperhatikan jiwa dari Ketetapan MPR No.IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang dalam lampirannya merekomendasikan 7 kebijakan pokok. Yang perlu diperhatikan di antaranya ialah rekomendasi nomor 2d yang menegaskan: “Apabila keseluruhan peraturan pemerintah belum diterbitkan sampai dengan akhir Desember 2000, daerah yang mempunyai kesanggupan (penuh) untuk menyelenggarakan otonomi diberikan kesempatan untuk menerbitkan Peraturan Daerah yang mengatur pelaksanaannya. Jika peraturan pemerintah telah diterbitkan, peraturan daerah yang terkait harus disesuaikan dengan peraturan pemerintah dimaksud.” Semangat yang terkandung dalam rumusan rekomendasi ini di satu segi mendorong tumbuhnya kemandirian dan keprakarsaan dari bawah, sehingga Pemerintah Daerah ataupun DPRD tidak perlu menunggu arahan dan aturan dari atas. Tetapi di pihak lain, semangatnya mengatur agar Peraturan Daerah tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah yang ditetapkan oleh pusat.
Kedua, dalam melaksanakan inisiatif dari bawah itu, Pemerintah Daerah dan DPRD di tiap-tiap propinsi bersama-sama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota beserta DPRD Kabupaten/Kota di propinsi masing-masing dapat mengadakan kesepakatan bersama mengenai mekanisme penetapan Peraturan Daerah masing-masing dengan mengacu kepada rencana induk pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana direkomendasikan dalam Rekomendasi TAP No.IV/MPR/2000 butir 3. Harus segera diadakan kesepakatan untuk menghindari penafsiran-penafsiran yang berbeda-beda antara satu daerah kabupaten/kota dan daerah kabupaten/kota lainnya di propinsi yang bersangkutan. Langkah-langkah ini penting untuk menghindari jangan sampai perbedaan antara satu sama lain terlalu tajam sehingga dapat mengganggu upaya mencapai tujuan menyukseskan pelaksanaan agenda otonomi daerah secara keseluruhan. Di pihak lain, pluralisme hukum yang dapat timbul sebagai akibat penerapan kebijakan otonomi daerah juga dapat diikuti tahap demi tahap, sehingga dapat dikelola sebagaimana mestinya.
Ketiga, untuk menjamin sikap kehati-hatian tidak menghalangi inisiatif yang tumbuh dari bawah, maka perlu dikembangkan pemahaman bahwa: (a) prinsip ‘lex superiore derogat lex infiriore’ mengharuskan norma hukum yang di bawah tidak bertentangan dengan norma hukum yang di atas. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, prinsip tersebut diimbangi oleh prinsip lain, yaitu ‘lex specialis derogat lex generalis’ bahwa norma hukum yang khusus, baik materinya maupun wilayah berlakunya ataupun waktu berlakunya, dapat saja mengatur yang berbeda dari norma hukum yang bersifat umum tanpa mengubah status keberlakuan norma hukum yang bersifat umum tersebut. (b) dalam hukum dibedakan antara istilah pertentangan norma (contra legem) dengan ketidaksesuaian norma (praepria). Peraturan Daerah mutlak tidak boleh mengatur norma yang berlawanan atau bertentangan dengan norma yang diatur dalam peraturan yang lebih tinggi. Akan tetapi, jika materi yang diatur bukan berlawanan tetapi hanya tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam peraturan yang lebih tinggi, maka hal itu masih dapat diterima secara hukum. (c) dalam hal ditemukan adanya perbedaan pengaturan antara satu peraturan dengan peraturan yang lain, maka penafsirannya disarankan dikaitkan dengan elemen teleologis dari materi peraturan itu, yaitu menyangkut tujuannya (doelmatigheid). Jika tujuannya sama, maka perbedaan dalam teknis pelaksanaannya, sepanjang tidak mengganggu proses pencapaian tujuan langsungnya, maka keduanya masih dapat diterima sebagai dokumen hukum menurut pengertian ketidaksesuaian seperti pada butir (b) tersebut di atas. Dengan demikian, inisiatif dari bawah tidak perlu terganggu, tetapi kita siap untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan terjadinya kekisruhan dalam pengaturan teknis hukumnya di lapangan.
Sebelum dibentuknya UU tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan yang diamanatkan berdasarkan ketentuan Pasal 6 TAP No.III/MPR/2000 tersebut di atas, Peraturan Daerah dapat ditetapkan mengacu kepada berbagai pedoman yang selama ini berlaku, dengan penyesuaian dan inovasi sendiri berdasarkan kebutuhan di lapangan. Misalnya, dalam konsideran Peraturan Daerah selalu dimuat adanya (a) elemen pertimbangan (unsur ‘Menimbang’) yang bersifat substantif yang menjadi latar belakang gagasan pembentukan Perda tersebut, (b) elemen pengingatan (unsur ‘Mengingat’) yang dijadikan landasan hukum pembentukan Perda tersebut, dan (c) elemen perhatian (unsur ‘Memperhatikan’) yang dijadikan rujukan operasional. Jika para perancang ragu mengenai status hukum Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri yang mengatur hal yang bersangkutan, maka Peraturan Menteri ataupun Keputusan Menteri yang bersangkutan dapat dimuat dalam Konsideran Memperhatikan, bukan Konsideran Mengingat. Dalam hal demikian, maka norma aturan yang akan dimuat dalam diktum Perda dapat berbeda atau tidak sesuai dengan materi yang diatur dalam Keputusan Menteri atau Peraturan Menteri tersebut. Bahkan Keputusan Direktur Jenderal yang status hukumnya juga tidak jelas juga dapat dijadikan rujukan peringatan yang tidak mengikat dalam Perda yang bersangkutan..
PENUTUP
Demikianlah beberapa masukan pemikiran yang kiranya dapat dipertimbangkan oleh para anggota DPRD dan pejabat Pemerintah Daerah kita di seluruh Indonesia dalam upaya membuat dan menetapkan Peraturan daerah yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan otonomi di daerahnya masing-masing. Mudah-mudahan para pejabat kita di tingkat pusat dapat bekerja keras untuk segera menetapkan berbagai peraturan pusat yang sangat diperlukan sebagai pedoman bagi daerah-daerah di seluruh Indonesia. Mudah-mudahan pula, berbagai peraturan yang akan ditetapkan itu nantinya dapat sungguh-sungguh dijadikan acuan, tidak malah menimbulkan masalah-masalah baru, karena kekurangcermatan dalam perumusannya seperti yang telah terjadi dengan perumusan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tersebut di atas.
Namun, terlepas dari harapan-harapan positif tersebut di atas, semua pihak hendaklah siap mengantisipasi berbagai kemungkinan buruknya teknik perumusan peraturan-peraturan di tingkat pusat tersebut. Karena harus dimaklumi juga bahwa persoalan yang harus diselesaikan demikian banyak dan rumit, sehingga tetap saja ada kemungkinan terjadinya kekurangan disana-sini. Yang penting adalah semangat kita semua harus ditujukan ke arah perbaikan yang sungguh-sungguh dalam rangka pelaksanaan agenda otonomi daerah yang justru sangat menentukan nasib bangsa dan negara kita ke depan. Sukses tidaknya pelaksanaan agenda otonomi daerah ini menyangkut taruhan yang sangat besar, yaitu keutuhan bangsa dan negara, serta kembali pulihnya kehidupan nasional bangsa kita, baik di bidang politik dan ekonomi yang menyangkut nasib 200-an juta rakyat Indonesia yang sudah terlalu menderita akibat krisis yang tidak berkepanjangan.

0 komentar:

Posting Komentar